Di Indonesia, semua orang bermimpi jadi doktor. Ijazah S3 dipandang sebagai lambang tertinggi pencapaian manusia. Sekalipun seringkali sesudah menjadi doktor, seseorang tidak lagi membaca. Tidak menulis. Apalagi meriset. Kalau pun mengajar, dia media rekam abad ke-20, yaitu kaset rusak yang dipasang di tape recorder. Membunyikan yang itu-itu saja berulang-ulang.
Ada beberapa negeri, dimana gelar Ph.D. ternyata tidak memberikan orang keamanan mendapatkan pekerjaan alias 'job security.' Ini berkebalikan dengan negeri Indonesia, dimana gelar doktoral meningkatkan prestise dan seolah-olah seorang doktor adalah seorang aritokrat anyaran. Bersamanya datang jabatan dan tentu saja tambahan tunjangan fungsional.
Hari ini, kebetulan saya membaca sebuyah artikel tentang para doktor ini. Sebuah universitas terkenal (UCLA -- University of California at Los Angeles) mengiklankan posisi sebuah dosen tidak tetap atau paruh waktu. Posisi seperti dikenal dengan sebutan "Adjunct Professor." Gajinya? $0 alias nggak ada.
Sementara syarat untuk menjadi professor adalah Anda harus memiliki gelar Ph.D. yang di negeri Indonesia dikenal dengan sebutan Doktor.
Seseorang harus belajar, mengajar, dan melakukan riset 5-6 tahun untuk mencapai gelar Ph.D ini. Setelah menginvestasikan umur selama itu, datang tawaran pekerjaan dengan gaji yang ... tiada!
Ternyata ini adalah fenomena di negeri-negeri di luar negeri Indonesia. Di Jepang, misalnya, kaum "Adjunct" ini benar-benar menjadi "junk" (sampah). Lebih dari setengah dari mereka ini bergaji rendah, sekitar 1,5 juta yen (US$13,600) per tahun. Hanya sepuluh persen dari mereka bergaji sekitar 30 juta yen ($27,000) per tahun.
Jangan konversikan nilai itu ke dalam rupiah. Karena beaaya hidup di Jepang sangat tinggi. Dalam ekonomi Jepang, para doktor ini merupakan "pekerja miskin." Ya mereka benar-benar miskin.
Keadaan ini mengingatkan saya pada buku Thomas Piketty, Capital in the Twentieth Century. Dalam buku tebal yang luar biasa itu, Piketty mengamati perkembangan modal pada abad ke-20. Dari situlah dia keluar dengan rumus r>g yang terkenal itu. Selama abad yang ditelitinya, return (keuntungan modal) dalam jangka waktu panjang akan mengecilkan pertumbuhan ekonomi.
Apa yang disampaikan Piketty adalah bahwa ketimpangan ekonomi antara kaum yang menguasai modal dengan orang-orang kelas pekerja (buruh) semakin melebar. Ini karena return modal semakin membesar sementara upah tidak bisa mengikuti kenaikan keuntungan modal itu. Jadilah ketimpangan itu.
Piketty mengatakan bahwa pertumbuhan keuntungan modal itu terjadi tidak dengan sendirinya. Kaum bermodal membiakkan modalnya dengan berbagai macam fasilitas publik -- mereka memakai jalan yang dibikin secara publik; mereka mendapatkan pegawai yang cakap yang dididik oleh sekolah2 sekolah yang didanai publik; mereka membuang (mencemari) ruang-ruang publik, dan lain sebagainya.
Solusinya? Pajaki mereka setinggi-tingginya (pajak progresif). Selain itu, solusi kontroversial lain dari Piketty adalah pajak warisan yang seharusnya ditetapkan setinggi-tingginya. Argumennya, sebagian besar kekayaan yang terakumulasi pada seseorang itu terjadi karena banyak barang-barang publik yang dipakai membesarkan keuntungan (return) modal tersebut didapat secara cuma-cuma. Itulah yang harus dikembalikan kepada publik.
Pajak warisan itu seharusnya bisa 70% atau lebih dari yang diwariskan. Orang tidak berhak menjadi kaya tanpa bekerja. Apalagi kekayaan itu diakumulasi dengan memakai fasilitas publik dan publiklah yang menanggung sebagian besar beaya yang kemudian menjadi "r" itu.
Selain itu, Piketty mengamati bahwa selain perpajakan progresif yang diterapkan hingga tingkat global (sehingga tidak ada pelarian modal dan keuntungannya ke negara-negara ramah pajak), ketimpangan juga bisa diperbaiki dengan memperbaiki sistem pendidikan.
Negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang benar-benar baik akan menciptakan ekonomi yang lebih merata. Pendidikan menjadi dasar bekerjanya meritokrasi bukan aristokrasi.
Lalu bagaimana dengan negeri Indonesia ini? Apakah sudah menjadikan pendidikan sebagai dasar untuk menjadi cara mengeliminasi ketimpangan?
Sulit untuk dijawab. Karena apa? Karena ada sistem ekonomi kearifan lokal yang bekerja -- mau gelar doktor? Anda bisa membelinya. Atau kalau mau sedikit capek dan banyak istirahatnya -- minta orang lain membuatkan skripsi, thesis atau disertasi. Prestise dapat, jabatan naik, dan akumulasi modal semakin membesar.
Memang ada yang tidak mengamalkan kearifan lokal ini. Artinya mereka juga bersungguh-sungguh bekerja dan belajar. Dan setelahnya, ya menjadi aristokrat baru (dengan kenaikan tunjangan fungsional, tentu saja!)
SELAMAT HARI BURUH DAN HARI PENDIDIKAN NASIONAL
#Copas dari chat group WhatsApp Dosen Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) yang dikirim oleh Dr. Aji Deni, M.Si (Dekan FISIP UMMU)
Komentar
Posting Komentar