Islamisasi Ilmu: Sebuah Penjelasan dan Penjernihan Semula

    Oleh: Metsra Wirman Alidin



Beberapa hari yang lalu, tepatnya senin, 25 juli 2016, penulis berkesempatan mengikuti sebuah International Seminar on Islamic Epistemology yang diselenggarakan oleh Universitas Andalas (UNAND) Padang Sumatera Barat, Indonesia bekerjasama dengan International Institute of Islamic Thought (IIIT). Tema seminar tersebut adalah “Science and Technology for Human Civilization.” Seminar ini cukup bergengsi dan bersejarah bagi kalangan civitas akademika abad 21 ini, sebab semangat para ilmuan muslim untuk menggali dan menawarkan solusi tradisi keilmuan Islam terhadap masalah modernitas. Unand sebagai salahsatu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, cukup sadar akan perkembangan keilmuan Islam kontemporer ini mencoba mendirikan The Center for Islamic Epistemology and Civilization (CIEC) dan memulai memperkenalkan Forum of Islamic Epistemology of West Sumatera dengan menggandeng lembaga internasional semacam The International Institute of Islamic Thought (IIIT)  yang mempunyai basis di Amerika Serikat ini. Apalagi agenda ini pula melibatkan para petinggi Perguruan Tinggi di lingkungan Sumatera Barat misalnya, para Rektor serta wakilnya, dosen dan mahasiswa, baik yang berasal dari utusan Perguruan Tinggi Umum maupun perguruan Tinggi Islam. 

Dalam catatan nota harian penulis mengenai seminar ini, isu sentral yang mau dipromosikan adalah gagasan Islamic Epistemology. Sebenarnya tidak lain, menurut hemat penulis, masih lanjutan dari wacana Islamisasi Ilmu yang mulai diperbincangkan di Mekah pada Konfrensi Islam pertama kali diadakan tahun 1977. 


Gagasan Islamisasi Ilmu (Islamization of Knowledge) telah menjadi agenda penting ilmuwan masa ini. Gagasan besar ini juga telah menarik perhatian berbagai pihak, sampai-sampai gagasan ini dianggap seakan-akan hanyalah klise (cliche) semata; yaitu sesuatu yang populer tetapi hilang tujuan dan pengertian asalnya. Ini terjadi karena sikap sebagian pihak yang telah mengabaikan, apakah itu disengaja ataupun tidak, sumber asal tercetusnya gagasan besar ini. Akibatnya, gagasan ini menjadi objek kritikan berbagai pihak tanpa hak pembelaan yang sepatutnya akibat kegagalan sebagian pihak dalam menanggapi gagasan ini dengan tepat. Oleh itu, menurut Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud (untuk penyebutan kemudian kita singkat menjadi Prof Wan) berpendapat bahwa gagasan besar ini mesti dilakukan penjernihan kembali dengan menyingkap tabir sejarah tercetusnya gagasan ini, yang meliputi penjelasan pengertian asalnya, perencanaannya, seterusnya meluruskan beberapa kekeliruan dan kritikan. Usaha beliau menanggapi sejarah tercetusnya gagasan ini, bukanlah bertujuan untuk menekankan “Siapa yang mengembangkan apa?”, tetapi “Bagaimana sesuatu itu dikembangkan?”. Dengan ini, maksud sebenarnya boleh dimengerti sehingga bisa diterima.


Gagasan Islamisasi ini buat pertama kalinya ditawarkan oleh ilmuwan Islam yang berwibawa Prof.Dr.Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendiri dan Direktur ISTAC. Gagasan ini telah disinggung oleh beliau dalam kajiannya tentang Islam di rantau Melayu apakah melalui ceramah-ceramah maupun didalam karya-karya beliau yang mendalam dan terkenal lebih dari lima puluh tahun yang lalu, seperti some aspects of Sufism as understood and practised among the Malays (1963), Raniri and the Wujudiyyah of 17th century Acheh (1966), Preliminary Statement on a general Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia (1969), Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Islam in Malay History and Culture), (Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia,1972), The Concept of Education in Islam (ABIM, Kuala Lumpur, 1980), Islam and the Philosophy of Science, (ISTAC, Kuala Lumpur, 1989), Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (ISTAC, Kuala Lumpur, 1995),  dan banyak lagi karya beliau yang tinggi nilainya itu. Karya-karya besar ini secara tegas menyatakan bahwa melalui islamisasi kedudukan Islam telah menjadi begitu kuat dan kukuh didalam sejarah dan kebudayaan Indonesia-Melayu.


Kewibawaan dan ketokohan Prof.Dr.Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam menguraikan gagasan ini telah menarik perhatian (alm) Prof. Dr. Ismail al-Faruqi, dimana pada 17 februari 1976 semasa Prof Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas diangkat sebagai Visiting Profesor di Temple University- yaitu sebelum Konferensi Islam di Mekah untuk pertama kali- beliau telah diminta oleh (alm) Prof.Dr. Ismail al-Faruqi untuk menulis tentang “Sekularisme dan Islamisasi Ilmu”. Prof. Al-Attas telah menyambut baik undangan tersebut lalu mengirimkan tulisan beliau dalam bentuk Draft (manuskrip) yang mengandungi gagasan besar ini. Dalam jawaban suratnya enam bulan kemudian, al-Faruqi menceritakan bahwa beliau telah menerima dan membaca gagasan besar Prof.Al-Attas dan sangat mengagumi tulisan beliau. Beliau juga menyarankan agar gagasan ini disebarkan keseluruh dunia. Fakta ini jelas menunjukkan sumbangan besar Prof. Al-Attas sebagai pencetus gagasan Islamisasi Ilmu. Namun fakta ini telah dikesampingkan oleh sebagian pihak yang telah mengklaim mencanangkan gagasan ini tanpa memberi penghargaan kepada Prof Al-Attas bahkan dalam banyak keadaan gagal memahami gagasan ini secara jelas .


Apa yang berlaku dalam hal ini, menurut Prof.Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud sebenarnya adalah supresi sesuatu ide atau gagasan (the suppression of ideas) dan bukannya kritikan ilmiah yang sehat. Dalam hal ini, Prof Wan mengemukakan beberapa bukti penekanan (suppression) terhadap gagasan Islamisasi ilmu yang dikemukakan oleh Prof Al-Attas itu. Ucapan Prof Al-Attas mengenai faham ilmu dan sekularisme umpamanya tidak disertakan dalam buku Islam and Development yang diterbitkan dalam rangka “Simposium Islam and Development”, diselenggarakan Muslim Frontier Pieties di Amerika Syarikat. Sikap yang sama juga turut ditunjukkan oleh Prof. ‘Ali Ashraf, Sekjen Konferensi Pendidikan Islam I, di Mekah, dimana beliau mengaku telah memikirkan dan menulis gagasan yang sama seperti yang digagas oleh Prof.Al-Attas. Pengakuaan beliau ini dibuat setelah gagasan islamisasi ilmu ini dipresentasikan secara ilmiah oleh Prof Al-Attas. Apalagi tanpa ada karya ilmiah yang kukuh yang dikemukakan oleh beliau.


Prof Dr.Wan juga menyayangkan sikap sebagian pihak mengkritik gagasan ini tanpa memahaminya secara mendasar dan jelas. Prof.Dr. Osman Gugaje, Sekjen Persatuan Islam Afrika, misalnya, juga mencoba mengkritik gagasan islamisasi Ilmu ini dengan menyatakan bahwa “apakah yang patut di Islamkan ialah “Epistemologi” (Islamization of Epistemology) dan bukannya ‘Ilmu (Islamization of Knowledge) pendapat inilah hemat penulis yang mendasari agenda yang diusung dan diselenggarakan di Unand dan IIIT kemaren sadar atau atupun tidak. Beliau ternyata masih kabur mengenai perbedaan antara faham ilmu (knowledge) dan faham epistemologi. Epistemologi, jelas Prof Wan, adalah sebagian daripada knowledge, karena epistemologi sebenarnya mengikut kepada pembahasan tentang “The Nature of Knowledge and Knowing, Channel of Knowing, Faham Shakk, Zhan, Waham” dan seumpamanya. Oleh karena itu, pembahasan tentang islamisasi ilmu itu merujuk kepada semua yang tersebut. Lebih lanjut lagi, persoalan ilmu atau knowledge bukan semata-mata sebagai K.N.O.W.L.E.D.G.E (ejaan semata-mata) tapi merangkumi persoalan tentang segala yang mengarah kepada ilmu dan yang disangkakan sebagai ilmu. Jelas, alternatif yang dikemukakan itu hanyalah suatu kekeliruan.


Prof. Dr. Abdul Karim Soroush dalam kritikannya berpendapat bahwa Islamic Knowledge itu sebenarnya tidak wujud tetapi yang wujud hanyalah islamic education. Beliau berhujjah bahwa istilah Islamic itu tidak pernah digunakan oleh ulama zaman awal Islam termasuk oleh Imam Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali, umpamanya, telah memberikan judul bukunya Ihya‘ Ulum al-Dīn dan bukannya Ihya’ Ulum al-Dīn al-Islamiyyah. Telaah ini ditolak oleh Prof Wan dengan alasan bahwa kita tidak bisa menghasilkan (termasuk Ilmu) itu kecuali kita lakukan pengislamannya didalam ‘aqal kita terlebih dahulu. Proses inilah yang menghasilkan sesuatu yang baru yaitu sesuatu yang telah di Islamkan. Beliau seterusnya mempersoalkan tentang apa sebenarnya yang terkandung dalam Islamic Education (Pendidikan Islam) kalau bukan Islamic Knowledge (Ilmu Islam)? Hujjah Soroush ini menurut Prof Wan, coba menolak dan menafikan ‘kemungkinan’ Islamisasi Ilmu. Hujjah ini tidak bisa diterima karena gagasan Islamisasi Ilmu ini bukan lagi satu kemungkinan bahkan adalah suatu kenyataan, yaitu setelah wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dimana kandungan surah al-‘Alaq secara drastis telah merubah pandangan hidup masyarakat Arab.


(Pengalaman Wasahbatul Ustadh dengan para ilmuwan Attasian sejak 8 tahun lalu di Malaysia

Komentar